Berbicara
tentang maenpukulan (silat) Cingkrik tidak akan terlepas dari kampung
Rawa Belong, begitupun sebaliknya. Keduanya identik tidak dapat
dipisahkan satu sama lain, karena tidak dapat dipungkiri, bahwa di Rawa
Belong lah maenpukulan Cingkrik dilahirkan dan dikembangkan.
Perkembangan yang demikian pesat merupakan jasa-jasa sesepuh para
pendahulu maenpukulan Cingkrik di Rawa Belong dan sekitarnya.
Fenomena
Cingkrik sebagai maenpukulan asli Betawi Rawa Belong, membawa nama
tokoh legendaris Betawi Si Pitung, yang memang terkenal sebagai Jawara
Rawa Belong. Cingkrik dianggap sebagai salah satu silatnya Si Pitung,
dan ini merupakan salah satu dari sekian banyak hal tentang Cingkrik
yang perlu diluruskan. Para sesepuh maenpukulan Rawa Belong meragukan
bahwa Cingkrik merupakan �maenan� nya Si Pitung, sekalipun dia
dilahirkan dan dibesarkan disana. Bang Nunung sebagai salah satu sesepuh
maenpukulan Rawa Belong berargumen, bahwa masa Si Pitung jauh
mendahului masa lahirnya maenpukulan Cingkrik di Rawa Belong yang
diperkirakan baru diciptakan pada awal abad ke XX oleh Ki Maing. Hal ini
dapat ditelusuri dari skema generasi terbawah di silsilah Cingkrik Rawa
Belong, yang orang-orangnya masih ada dan tetap eksis mengajar Cingkrik
sampai saat ini.
Sejarah dan Perkembangan Maenpukulan Cingkrik
Dahulu
banyak orang Rawa Belong yang menimba ilmu ke Kulon (tidak dapat
dipastikan tempatnya, karena Meruya dan Tangerangpun sudah dianggap
Kulon oleh orang-orang Rawa Belong pada waktu itu) untuk belajar ilmu
agama dan ilmu beladiri, baik ilmu batin maupun maenpukulan.
Salah
satu dari sekian banyak orang Rawa Belong yang belajar ke Kulon itu
adalah Ki Maing, namun belum tuntas belajar, Ki Maing memutuskan untuk
kembali pulang ke Rawa Belong. Hingga sampai pada suatu ketika, Ki Maing
yang sedang berjalan, tongkatnya direbut oleh seekor kera milik
tetangganya yang bernama Nyi Saereh. Spontan Ki Maing menarik kembali
tongkatnya, hingga terjadilah perebutan tongkat antara Ki Maing dan kera
milik Nyi Saereh. Si kera tidak mau mengalah begitu saja, dengan sigap
dan lincahnya berusaha menarik kembali tongkat Ki Maing dengan disertai
beberapa gerakan serangan dan pertahanan yang menyerupai jurus silat.
Ki
Maing sangat terkesan akan gerakan-gerakan kera tersebut, hingga hampir
setiap hari Ki Maing mendatangi kera itu untuk kemudian mempelajari dan
menganalisanya. Setiap gerakan pertahanan si kera yang lincah itu
diiringi serangan, begitupun sebaliknya setiap serangan merupakan
pertahanan. Dengan kombinasi antara kaki dan tangan yang begitu gesit
dan lincah. Dari pengamatan gerakan natural kera tersebut, dan
ketekunannya berlatih, oleh Ki Maing dikembangkan menjadi sebuah gerakan
atau jurus silat, yang kemudian hari dikenal dengan sebutan Cingkrik.
Setelah
merasa menguasai maenpukulan Cingkrik yang diinspirasikan dari gerakan
kera milik Nyi Saereh tadi, Ki Maing memutuskan untuk kembali ke
padepokannya di Kulon. Untuk menguji sampai dimana keberhasilan
jurus-jurus barunya itu, Ki Maing �menjajal� satu persatu teman
seperguruannya itu, yang hasilnya tidak satupun teman seperguruannya
berhasil mengalahkannya. Pada akhirnya guru Ki Maing pun turut serta
menjajal kehebatan jurus baru muridnya itu, namun kenyataan yang dialami
oleh teman-teman seperguruan Ki Maing, dialami pula oleh gurunya.
Gemparlah seluruh padepokan itu dan sang gurupun mengakui kehebatan
jurus barunya Ki Maing itu.
Sekembalinya
ke Rawa Belong, Ki Maing menyebarluaskannya dengan menularkan jurus
barunya itu kepada jawara-jawara Rawa Belong yang pada fase ini, mulai
dikenal nama maenpukulan Cingkrik, karena sebelumnya orang Rawa Belong
hanya mengenal Cingkrik dengan sebutan �maenpukul�. Dari Ki Maing
diturunkan kepada tiga orang, yaitu Ki Saari, Ki Ajid, dan Ki Ali.
Ki Saari
Ki
Saari turut mengembangkan maenpukulan Cingkrik dan mempunyai murid
bernama Bang Wahab. Bang Wahab sendiripun turut mengembangkannya dengan
memliki beberapa murid, yang salah satu diantaranya adalah anaknya
sendiri yaitu Bang Nur yang hingga kini masih eksis mengembangkan
maenpukulan Cingkrik di Rawa Belong.
Ki Ajid
Ki
Ajid turut mengembangkan maenpukulan Cingkrik dan banyak memiliki murid
yang tersebar di Rawa Belong dan sekitarnya, diantaranya yang terkenal
adalah: Bang Acik (Munasik), Bang Uming, Bang Ayat, dan Bang Majid.
Selanjutnya
dari Bang Uming, maenpukulan Cingkrik kian pesat dikembangkan. Bang
Uming mengajar Cingkrik tidak hanya di Rawa Belong saja tetapi di tempat
lain seperti Tenabang, Kemandoran (Permata Hijau), Kebon Jeruk/Kelapa
Dua dan daerah lainnya. Adapun dari sekian banyak murid Bang Uming yang
terkenal adalah: Bang Akib, Bang Umar, Bang Hasan Kumis, dan Bang
Nunung.
Pada
masa Bang Hasan Kumis, maenpukulan Cingkrik makin terus berkembang dan
terkenal, bersama-sama Bang Nunung dan kawan-kawan mendirikan Perguruan
Silat Cingkrik Jatayu Tumbal Pitung. Diantara muridnya yang terkenal
adalah, Bang Sapri dan Bang Warno (Suwarno Ayub) yang hingga kini masih
eksis mengajarkan maenpukulan Cingkrik di Rawa Belong dan sekitarnya.
Ki Ali
Ki Ali turut mengembangkan maenpukulan Cingkrik dan juga memiliki banyak murid, diantaranya yang paling terkenal adalah:
-Ki
Sinan, berasal dari Kebon Jeruk dan turut mengembangkan maenpukulan
Cingkrik di daerah Kebon Jeruk dan sekitarnya. Diantara murid-muridnya
yang terkenal adalah: Bang Melik dan Bang Entong.
-Ki
Goning, berasal dari Kemanggisan, turut mengembangkan maenpukulan
Cingkrik di Kemanggisan dan sekitarnya. Memiliki cukup banyak murid,
yang terkenal diantaranya adalah Bang Hamdan.
-Ki Legod, berasal dari Muara Angke/Pesing yang juga turut mengembangkan maenpukulan Cingkrik di daerah Muara Angke/Pesing.
Asal Kata Cingkrik
Sebagaimana
disebutkan di atas, bahwa penyebutan maenpukulan Cingkrik mulai dikenal
pada masa genre kedua (Ki Saari, Ki Ajid, dan Ki Ali). Dimana kata
Cingkrik muncul dari ungkapan Betawi, yaitu Jingkrak-Jingkrik atau
Cingkrak-Cingkrik yang berarti lincah, hal ini mengacu pada gerakan
natural dari kera yang sangat lincah, hingga dikembangkan menjadi sebuah
jurus silat (maenpukulan) yang lincah, atraktif dalam serangan yang
sekaligus merupakan pertahanan, dan pertahan yang sekalgus juga adalah
serangan.
Jurus-Jurus Maenpukulan Cingkrik
Cingkrik
memiliki 12 jurus dan ditambah dengan sambut, namun dalam
perkembangannya dari 12 jurus dan sambut yang ada, bisa saja berlainan
tergantung dari guru mana kita belajar. Sejatinya setiap jurus dan
gerakan Cingkrik adalah fleksibel berkembang, tidak kaku atau baku.
Namun intinya tetap sama, gerakannya lincah, menyerang maupun bertahan,
bertahan sekaligus menyerang dengan gesit dan lincah.
Sebagai
contoh, seperti yang dikembangkan oleh Bang Wahab, jurus-jurus dan
gerakannya menitik beratkan pada bagian atas, gerakannya seperti
menotok, banyak mengandalkan serangan tangan dan jari dengan sasaran ulu
hati, dada, leher dan muka. Sedangkan Bang Uming mengembangkannya
dengan atas-bawah kombinasi beset-gedor, ambilan kaki (cingkrik) dan
turun ke bawah dengan serangan empat penjuru. Begitupun dengan Ki Sinan
dan Ki Goning, yang mengembangkan Cingkrik dengan kelebihannya
masing-masing.
Ketidak
seragaman atau perbedaan baik dalam jurus, gerak dan sambut di
Cingkrik, dalam perkembangannya bukan merupakan masalah yang mendasar
bagi orang-orang yang ingin mendalami Cingkrik, karena fleksibilitasnya
yang terus berkembang tergantung kepada siapa (guru cingkrik) kita
belajar/berguru. Namun yang paling penting adalah janganlah kita
melupakan sejarah asal usul Cingkrik, yang dilahirkan di dan oleh orang
Rawa Belong, yaitu Ki Maing.
Dasar Jurus Cingkrik ada 12, yaitu:
- Keset Bacok
- Keset Gedor
- Cingkrik
- Langkah 3
- Langkah 4
- Buka Satu
- Saup
- Macan
- Tiktuk
- Singa
- Lokbe
- Longok
Ditambah atau dilanjutkan dengan sambut:
- Sambut 7 muka
- Sambut Gulung
- Sambut Detik/Habis
Adapun gerakan jurus gabungan dari 1-12 disebut sebagai Bongbang, yang biasanya digunakan untuk atraksi di panggung-panggung.
sumber:http://www.silatindonesia.com/2008/12/cingkrik-maenpukulan-khas-betawi-rawa-belong/
sumber:http://www.silatindonesia.com/2008/12/cingkrik-maenpukulan-khas-betawi-rawa-belong/